Setiap
manusia berakal pasti memiliki rasa cemburu. Ini adalah anugerah
fitriahdari Allah. Sebagai anugerah, cemburu memiliki potensi sebagai
kekuatan pengendali dan pendorong, sekaligus sebagai kekuatan yang dapat
merusak. Kita bisa melihat seorang anak yang cemburu sewaktu hadirnya
sang adik dalam kehidupannya. Sudah sewajarnya, perhatian orang tua akan
terbagi, terhadap si kakak dan kepada si adik. Si kakak yang biasanya
mendapat curahan penuh kasih sayang orang tuanya, harus dengan
“terpaksa” memberikan bagian kasih sayang itu kepada adiknya. Karenanya,
tak jarang kita menemukan seorang yang anak yang tiba-tiba saja ngambek
sewaktu adiknya lahir atau dia berbuat ulah sebagai sebuah aksi agar ia
tetap mendapatkan perhatian.
Rasa cemburu pun acapkali membuat seseorang berubah menjadi sosok yang selalu curiga, senantiasa berprasangka buruk. Tak jarang, kecemburuan mengakibatkan keretakan hubungan suami istri yang berujung pada perceraian. Misalnya, seorang istri atau suami mencemburui pasangannya karena ada indikasi pasangannya itu memiliki ketertarikan terhadap wanita atau pria lain.
Di
tempat kerja pun demikian. Bila ada seorang karyawan dipromosikan
jabatannya, tak jarang ini menimbulkan kecemburuan bagi
karyawan-karyawan lainnya. Seorang pedagang yang tempat dagangannya
selalu dikunjungi pembeli dan laris barang dagangannya, juga akan
mengakibatkan pedagang lainnya cemburu.Bagaimana bila hal ini terjadi
pada diri kita? Sudah menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim untuk
mampu mengendalikan rasa itu dan dapat mengubahnya menjadi energi
positif yang membuat kita dapat berpikir positif.
Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Aku mengagumi seorang muslim karena selalu ada kebaikan dalam setiap urusannya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur (kepada Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika ditimpa musibah, ia berserah diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya ada kebaikan pula ”
(HR Muslim)
Seharusnya,
seorang muslim dapat melihat adanya kebaikan di balik setiap peristiwa
yang dialaminya. Dia senantiasa berpikir positif dan berprasangka baik
kepada Allah bahwa ada hikmah di balik peristiwa yang menimpanya.Karena
itu pula, seorang muslim harus dapat menjadikan rasa cemburu itu sebagai
alat untuk dapat memperbaiki sikap atau mengoreksi diri terhadap sikap
yang selama ini terjadi. Misalnya, seorang istri atau suami, apakah
penampilan atau pelayanannya selama ini memuaskan atau tidak terhadap
pasangan hidupnya. Apakah ada sesuatu yang kurang disukai olehnya dalam
diri kita atau tidak. Bagi pedagang, apakah ia telah memberikan
pelayanan terbaik bagi pelanggannya. Apakah ia senantiasa dalam keadaan
gembira dalam melayani setiap pembeli.
Dengan
sikap ini, ia senantiasa akan memperbaiki kualitas hidupnya dan
senantiasa memberikan pelayanan yang terbaik. Akhirnya, tidak perlu lagi
terjadi perseteruan atau pertengkaran yang hebat antara suami istri.
Cukuplah diskusi dengan landasan kasih sayang yang menaungi hubungan
mereka. Tak perlu lagi terjadi kecemburuan yang mengakibatkan saling
menjatuhkan di antara karyawan. Marilah berbuat yang terbaik di ladang
amal kita masing-masing.
Sumber : SINI & Alhikmah.com
P/S : Saya pun jeles . Alhamdulillah terjawab persoalan . Syukur pada ALLAH .
No comments:
Post a Comment